Saat ini
konflik pertanahan semakin marak. Baik secara vertikal maupun horizontal.
Apakah diantara rakyat dengan pemerintah atau diantara rakyat dengan
perusahaan, maupun antar individu di dalam masyarakat itu sendiri. Semua
konflik ini semakin berkembang meluas dan menajam akibat lambannya pemegang
kekuasaan dalam mengatasinya.
A. Peta Konflik Pertanahan
Di berbagai daerah kerap kali terjadi konflik pertanahan yang dari tahun ke tahun eskalasinya terus meningkat. Mengenai hal ini secara ringkas tetapi cukup lugas disampaikan oleh Ketua Panja RUU DPR RI, A. Hakam Naja dalam seminar tentang agraria yang diselenggarakan oleh Sabang Merauke Circle pada tanggal 26 September 2012 di Hotel Le Meridien Jakarta sebagai berikut :
“Di Indonesia saat ini, konflik agraria khususnya pertanahan adalah suatu persoalan yang sangat serius. Ironisnya, konflik agraria ini tidak pernah diperhatikan dan diurus oleh badan-badan negara Republik Indonesia secara serius. Sehingga di satu pihak, masih terus menerus hidup faktor-faktor yang menyebabkan seringnya, dalamnya, dan luasnya konflik-konflik agraria dan dipihak lain tidak ada upaya secara sistematis untuk menyelsaiakan konflik-konflik itu, terutama dalam rangka, pemenuhan rasa keadilan dan hak asasi para korban.” Demikian juga halnya yang terjadi di Sumatera Utara.
B. Konflik Lahan Sumber Daya Ekonomi Rakyat
Konflik pertanahan di Sumatera Utara pada umumnya juga dikarenakan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Mereka yang telah mengusahakan tanah secara turun temurun dipaksa secara halus maupun kasar untuk meninggalkan lahan yang mereka tempati dan olah selama ini. Secara khusus dapat dikemukakan di sini kasus Himpunan Kelompok Tani dan Perjuangan Pengembalian Tanah Milik Masyarakat (HKTPPTMM) yang beranggotakan sekitar 300 KK, yang meminta bantuan Advoksi kepada Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU), dimana kelompok tani tersebut memiliki tanah denagn 270 alas hak, dan luas lahan 425 Ha di Kecamatan Percut Sei.Tuat Kabupaten Deli Serdang.
A. Peta Konflik Pertanahan
Di berbagai daerah kerap kali terjadi konflik pertanahan yang dari tahun ke tahun eskalasinya terus meningkat. Mengenai hal ini secara ringkas tetapi cukup lugas disampaikan oleh Ketua Panja RUU DPR RI, A. Hakam Naja dalam seminar tentang agraria yang diselenggarakan oleh Sabang Merauke Circle pada tanggal 26 September 2012 di Hotel Le Meridien Jakarta sebagai berikut :
“Di Indonesia saat ini, konflik agraria khususnya pertanahan adalah suatu persoalan yang sangat serius. Ironisnya, konflik agraria ini tidak pernah diperhatikan dan diurus oleh badan-badan negara Republik Indonesia secara serius. Sehingga di satu pihak, masih terus menerus hidup faktor-faktor yang menyebabkan seringnya, dalamnya, dan luasnya konflik-konflik agraria dan dipihak lain tidak ada upaya secara sistematis untuk menyelsaiakan konflik-konflik itu, terutama dalam rangka, pemenuhan rasa keadilan dan hak asasi para korban.” Demikian juga halnya yang terjadi di Sumatera Utara.
B. Konflik Lahan Sumber Daya Ekonomi Rakyat
Konflik pertanahan di Sumatera Utara pada umumnya juga dikarenakan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Mereka yang telah mengusahakan tanah secara turun temurun dipaksa secara halus maupun kasar untuk meninggalkan lahan yang mereka tempati dan olah selama ini. Secara khusus dapat dikemukakan di sini kasus Himpunan Kelompok Tani dan Perjuangan Pengembalian Tanah Milik Masyarakat (HKTPPTMM) yang beranggotakan sekitar 300 KK, yang meminta bantuan Advoksi kepada Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU), dimana kelompok tani tersebut memiliki tanah denagn 270 alas hak, dan luas lahan 425 Ha di Kecamatan Percut Sei.Tuat Kabupaten Deli Serdang.
Lahan mereka itu
termasuk diantara 5.873,06 Ha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara dari Areal PTPN II. Akan tetapi lahan dari kelompok
tani yang 425 Ha tersebut tidak dikembalikan kepada mereka
melainkan dimasukkan sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Pemkab Deli
Serdang. Padahal mereka telah menempati lahan tersebut sejak orang tua
mereka dipaksa oleh tentara Jepang mengolah lahan tersebut, untuk kepentingan
perang tentara Jepang. Setelah Jepang menyerah kalah mereka tetap tinggal dan
mengelola lahan tersebut, dan ketika terjadi perang mempertahankan kemerdekaan
RI melawan tentara Belanda mereka membantu para pejuang dengan hasil cocok
tanam mereka. Atas jasa dan peran mereka itu Pemerintah RI memberi penghargaan
melalui ketetapan Menteri Dalam Negeri No. 12/5/14 tanggal 28 Juni 1951 Jo SK
Gubsu No.36/K/Agr/tanggal 28 September 1951 yang disebut Tanah Suguhan.
Pada sekitar
pertengahan tahun enam puluhan, Para petani penerima Tanah Suguhan disuruh
keluar dari lahan mereka yang kemudian diserahkan kepada PTP IX dan
belakangan digabung menjadi PTPN II. Ketika masa HGU PTPN II habis pada
tahun 2000 para petani penerima Tanah Suguhan berusaha untuk kembali ke
lahan mereka. Akan tetapi mereka harus menerima kenyataan pahit.
Mereka tidak serta merta dapat memiliki dan mengolah kembali lahan mereka.
Berbagai pihak, dan dengan berbagai cara telah menguasai tanah mereka secara
tidak sah. Sekarang Himpunan Kelompok Tani dan Perjuangan Pengembalian Tanah
Masyarakat bergabung di dalam Forum Rakyat Bersatu Sumatera Utara untuk
bersama-sama memperjuangan pengembalian lahan kepada masyarakat petani seluas
23.603,72 Ha.
Dalam hal ini sebenarnya telah tercapai kesepakatan diantara FRBSU dengan PTPN II, dimana telah ditanda tangani MoU pengembalian lahan kepada para petani yang memiliki alas hak yang jelas dan sah. Namun karena satu dan lain hal Pemprov SU belum juga memproses terlaksananya MoU tersebut.
C. Konflik Penggusuran Rumah-rumah Ibadah Rakyat
Selain persoalan tanah yang merupakan tempat tinggal dan bercocok tanam masyarakat petani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masih terus bermasalah sehingga menjadi potensi konflik yang sangat rawan, maka masalah tanah tempat berdirinya rumah-rumah ibadah yang digusur akan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik bernuansa SARA. Terjadinya penggusuran masjid oleh pihak pengembang yang hendak membangun ruko / perumahan acap kali demgan melakukan berbagai rekayasa, manipulasi data, sampai kepada intimidasi yang semua itu bisa terjadi dikarenakan adanya kolaborasi (konspirasi) di antara pengusaha, penguasa, dan ulama Suk (Jahat). Selama ini telah terjadi penggusuran-penggusuran atas banyak masjid di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan untuk kepentingan bisnis para pengembang.
Dalam hal ini sebenarnya telah tercapai kesepakatan diantara FRBSU dengan PTPN II, dimana telah ditanda tangani MoU pengembalian lahan kepada para petani yang memiliki alas hak yang jelas dan sah. Namun karena satu dan lain hal Pemprov SU belum juga memproses terlaksananya MoU tersebut.
C. Konflik Penggusuran Rumah-rumah Ibadah Rakyat
Selain persoalan tanah yang merupakan tempat tinggal dan bercocok tanam masyarakat petani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masih terus bermasalah sehingga menjadi potensi konflik yang sangat rawan, maka masalah tanah tempat berdirinya rumah-rumah ibadah yang digusur akan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik bernuansa SARA. Terjadinya penggusuran masjid oleh pihak pengembang yang hendak membangun ruko / perumahan acap kali demgan melakukan berbagai rekayasa, manipulasi data, sampai kepada intimidasi yang semua itu bisa terjadi dikarenakan adanya kolaborasi (konspirasi) di antara pengusaha, penguasa, dan ulama Suk (Jahat). Selama ini telah terjadi penggusuran-penggusuran atas banyak masjid di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan untuk kepentingan bisnis para pengembang.
Sesungguhnya penggusuran rumah ibadah umat Islam itu sudah merupakan
pelanggaran terhadap UUD 1945 yang menjamin kebebasan beribadah bagi seluruh
umat beragama, dan tentunya juga memberikan jaminan kenyamanan beribadah
dan adanya perlindungan atas rumah-rumah Ibadah mereka. Hal itu juga merupakan
pengabaian terhadap Sila pertama dari Pancasila yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penggusuran masjid-masjid yang terjadi selama ini pastilah tidak sesuai
dengan syariat Islam yang telah diakomodir dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004
tentang wakaf, dimana para ulama menjelaskan bahwa wakaf tidak boleh
diperjualbelikan. Oleh karena itu persoalan ini sangatlah sensitif disebabkan
telah menyentuh masalah aqidah (keyakinan) umat Islam.
Selama ini upaya umat Islam (Jemaah Masjid) untuk mempertahankan rumah Ibadah mereka dari penggusuran selalu mengalami kegagalan. Hal itu juga disebabkan kebijakan pemerintah lebih memihak kepada kepentingan pengembang kapitalis. Beberapa contoh kasus dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Kasus Masjid dan Madrasah Al-Khariah di Jalan Bekiun Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat pada tahun 2003 oleh PT. Jati Masindo.
2. Kasus Masjid At-Thoyyibah yang terletak di Jalan Multatuli Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimun pada tahun 2007 oleh PT. Multi Indah Lestari.
3. Kasus Masjid Ar-Ridho yang terletak di Polonia Medan dirubuhkan pada tanggal 1 Desember 2004.
4. Kasus Masjid Roudhatul Islam yang terletak di Jalan Peringatan Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat pada tahun 2011 oleh PT. Jati Masindo.
5. Kasus Masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor Kecamatan Medan Timur Medan pada tahun 2011.
6. Dan beberapa kasus (usaha) untuk menggusur masjid-masjid yang akan dijadikan Bangunan Ruko/Perumahan, akan tetapi masih dapat dipertahankan oleh Jamaah masjid (umat Islam) sampai saat ini.
Selama ini upaya umat Islam (Jemaah Masjid) untuk mempertahankan rumah Ibadah mereka dari penggusuran selalu mengalami kegagalan. Hal itu juga disebabkan kebijakan pemerintah lebih memihak kepada kepentingan pengembang kapitalis. Beberapa contoh kasus dapat disebutkan sebagai berikut :
1. Kasus Masjid dan Madrasah Al-Khariah di Jalan Bekiun Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat pada tahun 2003 oleh PT. Jati Masindo.
2. Kasus Masjid At-Thoyyibah yang terletak di Jalan Multatuli Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimun pada tahun 2007 oleh PT. Multi Indah Lestari.
3. Kasus Masjid Ar-Ridho yang terletak di Polonia Medan dirubuhkan pada tanggal 1 Desember 2004.
4. Kasus Masjid Roudhatul Islam yang terletak di Jalan Peringatan Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat pada tahun 2011 oleh PT. Jati Masindo.
5. Kasus Masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor Kecamatan Medan Timur Medan pada tahun 2011.
6. Dan beberapa kasus (usaha) untuk menggusur masjid-masjid yang akan dijadikan Bangunan Ruko/Perumahan, akan tetapi masih dapat dipertahankan oleh Jamaah masjid (umat Islam) sampai saat ini.
Kasus penghancuran masjid di atas, terkecuali Masjid Al-Ikhlas di jalan
Timor yang telah dibangun kembali dilokasi semula, sungguh merupakan persoalan
yang perlu mendapat perhatian serius, serta penyelesaian yang jujur dan adil.
Sebagaimana telah diketahui, sejak tahun 2011 terjadi perubahan sikap umat
Islam di Sumatera Utara yang sebelumnya kurang peduli terhadap penggusurn
Masjid-masjid, menjadi bangkit dan bergerak dengan ghirah yang tinggi dan
solit. Bila sebelumnya dikatakan hanya Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU)
yang protes dan menggugat soal penghancuran masjid-masjid, maka sekarang ini
telah terbentuk Aliansi Ormas Islam Sumatera Utara Pembela Masjid yang terdiri
dari 35 elemen umat Islam. Oleh karena itu, pernyataan Plt. Gubsu, Gatot Pujo Nugroho,
ST dalam pertemuan dengan Muspida Sumut, MUI dan Aliansi Ormas Islam Pembela
Masjid bahwa, di masa yang akan datang tidak akan ada lagi penggusuran masjid,
agr ditindak lanjuti dengan membuat jaminan hukum berupa Undang-undang, atau
paling tidak dengan peraturan gubernur. Sehingga pernyataan simpatik Plt Gubsu
tersebut tidak hanya berlaku pada masa kegubernuran Plt Gubsu Gatot Pujo
Nugroho, ST saja.
Konflik pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara selain dikarenakan faktor
objektif yang berkembang seperti semakin timpangnya distribusi kepemilikan dan
penguasaan tanah juga diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah yang
tidak sejalan dengan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan seharusnya
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Filosofis yang menjadi
petunjuk dan arahan (amanat) UUD 1945 telah dijabarkan dengan UU Agraria
No.5 tahun 1960 yang dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
yang nasionalis, populis, dan mendasarkan pada hukum adat Indonesia.
Memang sangat ironis jika badan-badan Negara
Republik Indonesia tidak memberikan perhatian serius terhadap konflik
agraria, sehingga di berbagai daerah seperti di Mesuji, Bima, Tanjung Priuk dan
bahkan di Sumatera Utara, konflik-konflik pertanahan telah mengakibatkan
jatuhnya korban tewas yang dari tahun-ketahun terus meningkat. Pada tahun 2011
tercatat 18 orang tewas, dan 273.888 KK tergusur (Sumber: Serikat Petani
Indonesia). Padahal telah ada Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 Tentang Reforma
Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang menugaskan kepada Pemerintah untuk
segera menyelesaikan Konflik2 dibidang Pertanahan dan memperbaiki Struktur
Kepemilikan Tanah di Indonesia. D. Kebijakan Negara Harus Berpihak Kepada Rakyat
Merupakan syarat mutlak untuk mengakhiri konflik-konflik pertanahan di negara Republik Indonesia ini khususnya di Sumatera Utara, kebijakan Pemerintah harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Adalah sangat tidak adil apabila mayoritas rakyat miskin tidak punya tanah dan rumah, bahkan tanah yang sebelumnya ada terpaksa di tinggalkan karena digusur atau dijual murah untuk kepentingan pemerintah, atau kepentingan pengusaha kapitalis lokal maupun asing yang menguasai ribuan, atau bahkan jutaan hektar lahan, dan mengeruk sumber daya alam Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sehingga akibat kebijakan pemerintah yang lebih memihak kepada kepentingan pengusaha kapitalis banyak rakyat yang kehilangan tanah miliknya dan bahkan akhirnya menjadi buruh tani dibekas lahannya sendiri, atau di daerah di mana mereka tinggal sejak nenek moyang mereka, dan sekarang wilayah komunitas mereka dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang mengeruk dan membawa kekayaan mereka ke luar negeri, dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang teramat parah bagi mereka.
Keadaan di atas tidak terlepas dari politik keuangan pemerintah yang tercermin dalam kebijakan bank-bank negara dalam memberikan kredit dengan begitu mudah dan jumlah yang besar kepada golongan tertentu, namun sebaliknya amat sulit bagi rakyat kecil yang menjadi mayoritas bangsa ini untuk mendapatkan akses perbankan semacam ini.
Kesimpulan
Dari uraian di atas saya menyimpulkan bahwa, politik (kebijakan) pemerintah haruslah berpihak kepada rakyat dengan menjalankan amanat UUD 1945, UUPA Nomor 5 tahun 1960, dan UU Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Untuk kasus tanah ex PTPN II agar kesepakatan PTPN II dengan Forum Rakyat Bersatu dapat segera direalisasikan begitu pula dalam kasus-kasus penghancuran rumah ibadah, para pengambil keputusan dan pihak terkait lainnya, agar mencontoh kebijaksanaan Pangdam I/BB Mayjen TNI Lodewijk F. Paulus yang mengakomodir aspirasi umat Islam dengan membangun kembali Masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor Medan. Kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara maupun Kota Medan diharapkan untuk tidak memberikan sertifikat kepemilikan kepada Pihak Pengembang Kapitalis yang mengusai lahan masyarakat secara tidak benar, dan atas lahan rumah ibadah yang digusur untuk kepentingan bisnis mereka.
Insya ALLAH dengan kebijakan pemerintah yang memihak kepada kepentingan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 serta UU dan peraturan pelaksanaannya, konflik pertanahan di Sumatera Utara dapat diatasi secara baik, jujur dan adil, sehingga diterima oleh semua pihak kecuali tentunya, para mafia tanah yang tidak peduli terhadap kesengsaraan rakyat, atau soal halal – haram menggusur rumah ibadah. Wallahu a’lam bissawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar