Jumat, 27 Desember 2013

Solusi Konflik Pertanahan di Sumatera Utara dan Fenomena Penghancura Rumah Ibadah


Saat ini konflik pertanahan semakin marak. Baik secara vertikal maupun horizontal. Apakah diantara rakyat dengan pemerintah atau diantara rakyat dengan perusahaan, maupun antar individu di dalam masyarakat itu sendiri. Semua konflik ini semakin berkembang meluas dan menajam akibat lambannya pemegang kekuasaan dalam mengatasinya.
A. Peta Konflik Pertanahan
            Di berbagai daerah kerap kali terjadi konflik pertanahan yang dari tahun ke tahun eskalasinya terus meningkat. Mengenai hal ini secara ringkas tetapi cukup lugas  disampaikan oleh Ketua Panja RUU DPR RI, A. Hakam Naja dalam seminar tentang agraria yang diselenggarakan oleh Sabang Merauke Circle pada tanggal 26 September 2012  di Hotel Le Meridien Jakarta sebagai berikut :
            “Di Indonesia saat ini, konflik agraria khususnya pertanahan adalah suatu persoalan yang sangat serius. Ironisnya, konflik agraria ini tidak pernah diperhatikan dan diurus oleh badan-badan negara Republik Indonesia secara serius. Sehingga di satu pihak, masih terus menerus hidup faktor-faktor yang menyebabkan seringnya, dalamnya, dan luasnya konflik-konflik agraria dan dipihak lain tidak ada upaya secara sistematis untuk menyelsaiakan konflik-konflik itu, terutama dalam rangka, pemenuhan rasa keadilan dan hak asasi para korban.” Demikian juga halnya yang terjadi di Sumatera Utara.
B. Konflik Lahan Sumber Daya Ekonomi Rakyat
            Konflik pertanahan di Sumatera Utara  pada umumnya juga dikarenakan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Mereka yang telah mengusahakan tanah secara turun temurun dipaksa secara halus maupun kasar untuk meninggalkan lahan yang mereka tempati dan olah selama ini. Secara khusus dapat dikemukakan di sini kasus Himpunan  Kelompok Tani dan Perjuangan  Pengembalian Tanah Milik Masyarakat (HKTPPTMM) yang beranggotakan sekitar 300 KK, yang meminta bantuan Advoksi  kepada Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU), dimana kelompok tani tersebut  memiliki tanah denagn 270 alas hak, dan luas lahan 425 Ha di Kecamatan  Percut Sei.Tuat Kabupaten Deli Serdang.
            Lahan mereka itu  termasuk diantara 5.873,06 Ha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara  dari Areal PTPN II.  Akan tetapi lahan dari kelompok tani yang 425 Ha tersebut  tidak dikembalikan kepada mereka  melainkan dimasukkan  sebagai bagian dari Rencana Tata Ruang Pemkab Deli Serdang. Padahal mereka telah menempati  lahan tersebut sejak orang tua mereka dipaksa oleh tentara Jepang mengolah lahan tersebut, untuk kepentingan perang tentara Jepang. Setelah Jepang menyerah kalah mereka tetap tinggal dan mengelola lahan tersebut, dan ketika terjadi perang mempertahankan kemerdekaan RI melawan tentara Belanda mereka membantu para pejuang dengan hasil cocok tanam mereka. Atas jasa dan peran mereka itu Pemerintah RI memberi penghargaan melalui ketetapan Menteri Dalam Negeri No. 12/5/14 tanggal 28 Juni 1951 Jo SK Gubsu No.36/K/Agr/tanggal 28 September 1951 yang disebut Tanah Suguhan.
            Pada sekitar  pertengahan tahun enam puluhan, Para petani penerima Tanah Suguhan disuruh keluar dari lahan mereka yang kemudian diserahkan kepada PTP IX dan belakangan  digabung menjadi PTPN II. Ketika masa HGU PTPN II habis pada tahun 2000 para petani penerima Tanah Suguhan  berusaha untuk kembali ke lahan mereka. Akan tetapi  mereka  harus menerima kenyataan pahit. Mereka tidak serta merta dapat memiliki dan mengolah kembali lahan mereka. Berbagai pihak, dan dengan berbagai cara telah menguasai tanah mereka secara tidak sah. Sekarang Himpunan Kelompok Tani dan Perjuangan Pengembalian Tanah Masyarakat bergabung  di dalam Forum Rakyat Bersatu Sumatera Utara untuk bersama-sama memperjuangan pengembalian lahan kepada masyarakat petani seluas 23.603,72 Ha.
            Dalam hal ini sebenarnya telah tercapai kesepakatan diantara FRBSU dengan PTPN II, dimana telah ditanda tangani MoU pengembalian lahan kepada para petani yang memiliki alas hak yang jelas dan sah. Namun karena satu dan lain hal Pemprov SU belum juga memproses terlaksananya MoU tersebut.
C. Konflik Penggusuran Rumah-rumah Ibadah Rakyat
            Selain persoalan tanah yang merupakan tempat tinggal dan bercocok tanam masyarakat petani untuk memenuhi  kebutuhan hidup mereka masih terus bermasalah sehingga menjadi potensi konflik yang sangat rawan, maka masalah tanah tempat berdirinya rumah-rumah ibadah yang digusur akan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik bernuansa SARA. Terjadinya penggusuran masjid oleh pihak pengembang yang hendak membangun ruko / perumahan acap kali demgan melakukan berbagai rekayasa, manipulasi data, sampai kepada intimidasi yang semua itu bisa terjadi dikarenakan adanya kolaborasi (konspirasi) di antara pengusaha, penguasa, dan ulama Suk (Jahat). Selama ini  telah terjadi penggusuran-penggusuran atas banyak masjid di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan untuk kepentingan bisnis para pengembang.
Sesungguhnya  penggusuran rumah ibadah umat Islam itu sudah merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 yang menjamin kebebasan beribadah bagi seluruh umat beragama, dan tentunya  juga memberikan jaminan kenyamanan beribadah dan adanya perlindungan atas rumah-rumah Ibadah mereka. Hal itu juga merupakan pengabaian terhadap Sila pertama dari Pancasila yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Penggusuran masjid-masjid yang terjadi selama ini pastilah tidak sesuai  dengan syariat Islam yang telah diakomodir dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf, dimana para ulama menjelaskan bahwa wakaf tidak boleh diperjualbelikan. Oleh karena itu persoalan ini sangatlah sensitif disebabkan telah menyentuh masalah aqidah  (keyakinan) umat Islam.
            Selama ini upaya umat Islam (Jemaah Masjid) untuk mempertahankan rumah Ibadah mereka dari penggusuran selalu mengalami kegagalan. Hal itu juga disebabkan kebijakan pemerintah lebih memihak kepada kepentingan pengembang kapitalis.  Beberapa contoh kasus dapat disebutkan sebagai berikut :
1.    Kasus Masjid dan Madrasah Al-Khariah di Jalan Bekiun Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat pada tahun 2003 oleh PT. Jati Masindo.
2.    Kasus Masjid At-Thoyyibah yang terletak di Jalan Multatuli Kelurahan Hamdan Kecamatan Medan Maimun pada tahun 2007 oleh PT. Multi Indah Lestari.
3.    Kasus Masjid Ar-Ridho yang terletak di Polonia Medan dirubuhkan pada tanggal 1 Desember 2004.
4.    Kasus Masjid Roudhatul Islam yang terletak di Jalan Peringatan Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat pada tahun 2011 oleh PT. Jati Masindo.
5.    Kasus Masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor Kecamatan Medan Timur Medan pada tahun 2011.
6.    Dan beberapa kasus (usaha) untuk menggusur masjid-masjid yang akan dijadikan Bangunan Ruko/Perumahan, akan tetapi masih dapat dipertahankan oleh Jamaah masjid (umat Islam) sampai saat ini.
Kasus penghancuran masjid di atas, terkecuali Masjid Al-Ikhlas di jalan Timor yang telah dibangun kembali dilokasi semula, sungguh merupakan persoalan yang perlu mendapat perhatian serius, serta penyelesaian yang jujur dan adil. Sebagaimana telah diketahui, sejak tahun 2011 terjadi perubahan sikap umat Islam di Sumatera Utara yang sebelumnya kurang peduli terhadap penggusurn Masjid-masjid, menjadi bangkit dan bergerak dengan ghirah yang tinggi dan solit. Bila sebelumnya dikatakan hanya Forum Umat Islam Sumatera Utara (FUISU) yang protes dan menggugat soal penghancuran masjid-masjid, maka sekarang ini telah terbentuk Aliansi Ormas Islam Sumatera Utara Pembela Masjid yang terdiri dari 35 elemen umat Islam. Oleh karena itu, pernyataan Plt. Gubsu, Gatot Pujo Nugroho, ST dalam pertemuan dengan Muspida Sumut, MUI dan Aliansi Ormas Islam Pembela Masjid bahwa, di masa yang akan datang tidak akan ada lagi penggusuran masjid, agr ditindak lanjuti dengan membuat jaminan hukum berupa Undang-undang, atau paling tidak dengan peraturan gubernur. Sehingga pernyataan simpatik Plt Gubsu tersebut tidak hanya berlaku pada masa kegubernuran Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho, ST saja.
Konflik pertanahan yang terjadi di Sumatera Utara selain dikarenakan faktor objektif yang berkembang seperti semakin timpangnya distribusi kepemilikan dan penguasaan tanah juga diperparah dengan banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Filosofis yang menjadi petunjuk dan arahan (amanat) UUD 1945 telah dijabarkan dengan UU Agraria No.5  tahun 1960 yang dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang nasionalis, populis, dan mendasarkan pada hukum adat Indonesia.
Memang sangat ironis jika badan-badan Negara Republik Indonesia  tidak memberikan perhatian serius terhadap konflik agraria, sehingga di berbagai daerah seperti di Mesuji, Bima, Tanjung Priuk dan bahkan di Sumatera Utara, konflik-konflik pertanahan telah mengakibatkan jatuhnya korban tewas yang dari tahun-ketahun terus meningkat. Pada tahun 2011 tercatat 18 orang tewas, dan 273.888 KK tergusur (Sumber: Serikat Petani Indonesia). Padahal telah ada Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 Tentang Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang menugaskan kepada Pemerintah untuk segera menyelesaikan Konflik2 dibidang Pertanahan dan memperbaiki Struktur Kepemilikan Tanah di Indonesia.
D. Kebijakan Negara Harus Berpihak Kepada Rakyat
            Merupakan syarat mutlak untuk mengakhiri konflik-konflik pertanahan di negara Republik Indonesia ini khususnya di Sumatera Utara, kebijakan Pemerintah harus  berpihak  kepada kepentingan rakyat. Adalah  sangat tidak adil apabila mayoritas rakyat miskin tidak punya tanah dan rumah, bahkan tanah yang sebelumnya ada terpaksa di tinggalkan karena digusur atau dijual murah untuk kepentingan pemerintah, atau kepentingan pengusaha kapitalis lokal maupun asing yang menguasai ribuan, atau bahkan jutaan hektar lahan, dan mengeruk sumber daya alam Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sehingga akibat kebijakan pemerintah yang lebih memihak kepada kepentingan pengusaha kapitalis banyak rakyat yang  kehilangan tanah miliknya dan bahkan akhirnya menjadi buruh tani dibekas lahannya sendiri, atau di daerah di mana mereka tinggal sejak nenek moyang mereka, dan sekarang wilayah komunitas mereka dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang mengeruk dan membawa kekayaan mereka  ke luar negeri, dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang teramat parah bagi mereka.
            Keadaan di atas tidak terlepas dari politik keuangan pemerintah yang tercermin dalam kebijakan bank-bank negara dalam memberikan kredit dengan begitu mudah  dan jumlah yang besar kepada golongan tertentu, namun sebaliknya amat sulit bagi rakyat kecil  yang menjadi mayoritas bangsa ini untuk mendapatkan akses perbankan semacam ini.
Kesimpulan
            Dari uraian di atas saya menyimpulkan bahwa, politik (kebijakan) pemerintah haruslah berpihak kepada rakyat dengan menjalankan amanat UUD 1945, UUPA Nomor 5 tahun 1960, dan UU Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf. Untuk kasus tanah ex PTPN II agar kesepakatan PTPN II dengan Forum Rakyat Bersatu dapat segera direalisasikan begitu pula dalam kasus-kasus penghancuran rumah ibadah, para pengambil keputusan dan pihak terkait lainnya, agar mencontoh kebijaksanaan Pangdam I/BB Mayjen TNI Lodewijk F. Paulus yang mengakomodir aspirasi umat Islam dengan membangun kembali  Masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor Medan. Kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumatera Utara maupun Kota Medan diharapkan untuk tidak memberikan sertifikat kepemilikan kepada Pihak Pengembang Kapitalis yang mengusai lahan masyarakat secara tidak benar, dan atas lahan rumah ibadah yang digusur untuk kepentingan bisnis mereka.
            Insya ALLAH dengan kebijakan pemerintah yang memihak kepada kepentingan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945 serta UU dan peraturan pelaksanaannya, konflik pertanahan di Sumatera Utara dapat diatasi secara baik, jujur dan adil, sehingga  diterima oleh semua pihak kecuali tentunya, para mafia tanah yang tidak peduli terhadap kesengsaraan rakyat, atau soal halal – haram menggusur rumah ibadah. Wallahu a’lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar