Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh pemerintah jajahan Belanda pada tahun 1830 merupakan contoh klasik tentang penindasan kaum penjajah. Tujuan pokoknya adalah meningkatkan kapasitas produksi pertanian orang-orang Jawa demi keuntungan perbendaharaan Kerajaan Belanda. Melonjaknya produksi laba kerja paksa petani Jawa yang dilakukan oleh pemerintah colonial Belanda tidak diimbangi dengan penyediaan penanaman modal dan upaya untuk memperbaiki teknik produksi.
Sistem Tanam Paksa mengalami reputasi yang buruk karena kebijakan ini menimbulkan kemiskinan kaum petani Jawa. Proses Tanam Paksa di Jawa mampu menghasilkan kekayaan rata-rata 40 juta
gulden per tahun, sementara penduduk pulau Jawa tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sistem Tanam Paksa menciptakan penyelenggaraan budidaya kopi, tebu, dan nila yang merupakan budidaya paling luas dan paling menguntungkan Pemerintah Kolonial.
Budidaya kopi sukses dijalankan di lahan yang
disebut “wostegronden” (tanah gurun) di Jawa Barat (Priangan), Jawa Tengah bagian Selatan (Kedu), dan daerah ujung Timur pulau Jawa (Pasuruan dan Besuki). Pelaksanaan budidaya kopi ini mewajibkan para petani untuk berjalan berkilo-kilo meter menuju kebun kopi dan memaksa mereka untuk meninggalakan kampong halaman mereka selama berbulan-bulan. Dalam masa penyelenggaraan budidaya kopi, para petani ini dengan terpaksa tinggal di gubuk-gubuk darurat yang dekat dengan perkebunan kopi. Kaum tani ini eaji buntuk membuka hutan dan membuat lahan perkebunan, kemudian menanam bibit dan merawatnya sampai berbuah, memetik biji-bijinya, lalu menjemurnya dan mengupasnya. Setelah proses itu selesai, mereka diwajibkan menyerahkan hasil panen kesalah satu dari sejumlah gedung kopi pemerintah yang terletak di pedalaman dengan jalan memikul asi hasil panen kopi tersebut.
Budidaya tebudan nila dalam rangka Sitem Tanam Paksa
ditanam pada tanah irigasi yang selakyaknya ditanami padi. Kedua jenis tanaman
sawah tersebut ditanam bergiliran di sekitar sawah-sawah yang sebelum proses
penanamannya, petani-petani diwajibkan membongkar jaringan pematang dan saluran
yang lazimnya diperlukan untuk menanam padi. Penanaman Tebu dan Nila memerlukan
lahan kebun yang luas-luas yang pada pengerjaannya memerlukan beberapa desa
secara bersama-sama. Keadaan ini menyebabkan beberapa kaum tani harus rela
kehilangan lahan sawahnya, mereka harus mencari lahan baru sampai ke pelosok
pedalaman desa untuk ditanami seperti padi
sebagai pengganti lahan mereka yang telah berganti menjadi lahan tebu dan
nila. Sebagai imbalan untuk pelaksanaan budidaya ini, penggarap tebu diberi
upah sesuai dengan jumlah gula yang dihasilkan dari tebu yang telah mereka
tanam dan menadapat pendapatan tambahan upah apabila mereka bekerja lagi dalam
proses penebasan dan pengangkutan tebu. Sedangkan untuk tanaman nila, para
pekerja hanya mendapatkan upah dari banyaknya pewarna yang dihasilkan dari daun
nila yang mereka tanam.
Sistem Tanam
Paksa yang berkaitan dengan budidaya tebu, kopi, dan nila ini sangat berdampak
pada pertanian tanaman pangan. Dampak-dampak tersebut antara lain:
1.
Budidaya paksa ini memakan banyak waktu, para petani tidak memiliki kesempatan
untuk melakukan penanaman tanaman pangan. Penanaman tebu dan nila acapkali
mengganggu kegiatan pemeliharaan tanaman padi, persiapan lahan untuk kebun kopi
lazimnya berbenturan dengan masa panen padi.
2.
Budidaya seperti tebu dan nila menggunakan jumlah besar dari tanah sawah petani
yang paling baik dan bernilai tinggi, proses ini biasanya berlangsung hingga 18
bulan lamanya.
3.
Budidaya ini menyebabkan para petani harus mengorbankan panen padi, jagung dan
tanaman sayur yang kedua kali. Ini dikarenakan tidak adanya waktu yang cukup
untuk mematangkan dan memetik hasil tanam itu sebelum tanahnya digunakan untuk
keperluan tanaman ekspor bersangkutan.
4.
Budidaya ini membutuhkan prioritas dalam upaya pengairan sehingga proses
pengairan untuk tanaman pangan seperti padi menjadi tidak optimal. Yang
melatarbelakangi ini adalah hasrat pemerintah untuk melakukan diversifikasi
budidaya ekspor sebanyak mungkin untuk meningktan hasil laba.
Sistem Tanam
Paksa juga menuntut kaum tani untuk melakukan kerja rodi dengan imbalan kecil
atau sama sekali tanpa imbalan untuk melaksanakan pekerjaan umum. Ini berkaitan
untuk melancarkan sistem Tanam Paksa yang memerlukan fasilitas jalan, jembatan,
irigasi, pembangunan gedung kantor, gudang, dan perluasan areal budidaya.
Bahkan penduduk tani ini masih dibebani dengan pajak tanah yang tinggi. Sistem
yang demikian ini merupakan suatu sumber yang subur untuk tindakan korupsi oleh
oknum-oknum yang diberi kewenangan untuk mengelolanya. Di sekitar tahun
pertengahan dan akhir tahun 1840-an keadaan kaum petani semakin memburuk
tatkala terjadi serangkaian wabah penyakit dan kegagalan panen yang
mengakibatkan kegagalan penen. Bencana kelaparan terjadi dimana-mana, tercatat
ribuan kematian penduduk di daerah Jawa Tengah bagian Utara disebabkan oleh hal
ini. Kesengsaraan ini banyak dikecam oleh kaum liberal di negeri Belanda
terhadap Sistem Tanam Paksa yang diberlakukan di Jawa.
Tanam Paksa
dipandang sebagai penyebab kemiskinan kesengsaraan di berbagai daerah di Jawa.
Hal itu mengemban kelemahan logika dan struktural yang parah, kemudian dari hal
itu mengakibatkan timbul banyak perlawanan-perlawanan dari masyarakat Jawa yang
menentang pemberlakuan Sistem Tanam Paksa. Namun Sistem Tanam Paksa ini tidak
selamanya menyebabkan kemiskinan, di beberapa bagian daerah Jawa Timur sistem ini justru menunjukkan adanya
perbaikan materi. Daerah bagian timur seperti misalnya Pasuruan, menurut
laporan-laporan dari residen daerah ini justru terjadi peningkatan perdagangan
lokal, meningkatnya peredaran uang, meluasnya kesempatan kerja, terpenuhinya
alat-alat pertanian, ternak, penyempurnaan sarana perumahan dan sandang, dan
terjadi laba yang sangat besar dari budidaya yang dipaksakan itu. Hal ini dapat
dibuktikan dari hasil-hasil angka statistik yang tercatat pada Cultuur Verslagen. Setidaknya melihat
dari hal ini membuktikan bahwa Tanam Paksa juga membawa perluasan ekonomi
pangan dimana terjadi perubahan radikal di beberapa bagian pulau Jawa yang
berlangsung dalam perekonomian pedesaan, kemudian petani terkondisi untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan kesempatan baru.
Sistem Tanam Paksa berakhir pada tahun 1870, namun
pembuktian mengenai dampak kemiskinan atau kemakmuran yang ditimbulkan akibat
sistem ini, hingga saat ini masih sangat sulit untuk dipecahkan karena kedua
dampak yang ditimbulkan ini membuat tanam paksa yang diperlakukan pada kurun
waktu 1830-1870 menjadi bias. Upaya penelaahan mengenai dampak sosial dari
sistem ini masih dalam taraf teramat dini, kurang sekali diketahui orang
mengenai dasar dari perubahan ekonomi dan sosial tentang bagaimana dibaginya
pendapatan dan beban-beban di kalangan kaum tani, berapa banyak uang yang
dibayarkan sampai pada tangan petani, bagaimana uang itu dibelanjakan, dan
kemudian seberapa jauhkan perubahan dialami dalam struktur dan kelaziman
penduduk itu. Sebenarnya Sistem Tanam Paksa itu amat keras dan tidak dapat
dibenarkan dari segi moral, namun pengutukan moral tentang ini jangan sampai
menyamarkan bukti-bukti positif yang timbul dari pemberlakuan Sistem Tanam
Paksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar